We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Menantu Pahlawan Negara by Sarjana

Chapter 508
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 508 Abu Sudah Dibuang

Ada orang yang terlahir dengan sifat lemah dan penakut.

Namun, saat orang yang sangat penting bagi mereka menghadapi bahaya, mereka akan maju untuk

melindungi orang itu tanpa ragu.

Melihat pemandangan itu, Ardika sangat terharu.

Selain Luna dan saudara–saudarinya di Kediaman Dewa Perang, dia menemukan orang yang rela

berkorban untuk dirinya lagi.

“Bam!”

Suara hantaman yang keras menyela pemikiran Ardika.

Begitu dia mengalihkan pandangannya ke sumber suara, pembuluh–pembuluh darah di keningnya

tampak menonjol.

Robin sudah terjatuh ke tanah. Sambil memegang lengannya, lansia itu merintih kesakitan.

Namun, sambil merintih kesakitan, dia masih berteriak meminta Ardika untuk cepat lari!

“Dasar tua bangka nggak tahu diri! Minggir sana!” teriak seorang petugas rumah duka dengan tajam. Dia

mengayunkan tongkat dalam genggamannya dan berniat untuk memukuli Robin untuk kedua kalinya.

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

Sebelumnya, tongkatnya yang telah menghantam lengan Robin dengan keras.

Tepat pada saat tongkatnya hampir mengenai tubuh Robin, tiba–tiba angin yang ganas bertiup!

“Bam!”

Sebelum orang itu sempat bereaksi, tubuhnya sudah terpental keluar.

Saat tubuhnya menghantam permukaan tanah, tidak tahu berapa banyak tulangnya yang patah.

“Ayah, berdirilah.”

Ardika membungkukkan badannya dan memapah Robin berdiri.

Sementara itu, tanpa perlu instruksi dari Ardika, dua prajurit Pasukan Khusus Serigala itu langsung

menerjang ke arah lawan mereka.

“Ah… ah… ah….”

+博配瓶库

Satu demi satu teriakan menyedihkan menggema di tempat itu.

Hanya dalam sekejap mata, semua anggota rumah duka itu sudah tergeletak di tanah sambil mengerang kesakitan.

Saat ini, Ardika sudah memeriksa lengan Robin yang terkena hantaman tongkat.

Luka di lengan lansia itu sudah mulai membengkak, mungkin dia sudah mengalami patah tulang!

“Eh… eh…. Siapa kallan sebenarnya?!”

Satu–satunya orang yang masih berdiri di tempat itu adalah Wilson. Saat ini, dia benar–benar sudah tercengang dan menatap Ardika dengan ekspresi pucat.

“Arini, hubungi pihak rumah sakit.”

Selesai melontarkan satu kalimat itu, Ardika menyerahkan Robin kepada dua prajurit itu, lalu berjalan menghampiri Wilson sendirian.

“Bam!”

Tanpa banyak bicara, Ardika langsung menendang pria itu.

Dengan iringan suara patah tulang, Wilson berlutut di lantai sambil mengerang kesakitan.

Tanpa beromong kosong dengannya lagi, Ardika bertanya dengan dingin. “Cepat katakan! Kalian bawa ke mana abu Delvin?!” +

Tubuh Wilson tampak meringkuk. Dia memegangi kakinya yang patah tulang itu dengan erat. Selain itu, bulir–bulir keringat mulai bercucuran membasahi keningnya.

Dia menatap Ardika dengan ketakutan dan berkata dengan terbata–bata, “Sudah… sudah dibuang….

“Dasar bajingan! Kenapa kalian melakukan hal seperti itu?! Kapan Delvin menyinggung kalian, sampai- sampai kalian membuang abunya?!”

“Pffft!”

Begitu mendengar ucapan Wilson, mata Robin yang berdiri di belakang mereka tampak memerah, seakan -akan bisa memancarkan api. Bulir–bulir air mata terus mengalir membasahi wajah lansia itu.

Ardika mengerutkan keningnya, aura yang luar biasa kuat langsung meledak dari dalam dirinya.

Seketika itu pula, Wilson diselimuti oleh aura membunuh yang kuat, sampai–sampai dia kesulitan untuk

bernapas!

“Kamu benar–benar cari mati!”

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

HIS MONS

Ardika mengangkat lengannya dan hendak memukuli pria itu sampai mati saat itu juga!

“Ampun! Ampuni aku! Simon Tanaka yang memerintahkan kami untuk melakukan hal itu!”

“Rumah duka kami berada di bawah kendalinya! Kami nggak berani nggak menuruti ucapannya!”

“Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!”

Tiba–tiba, Wilson menerjang ke depan dan memeluk kaki Ardika sambil berteriak seperti orang gila.

Pergerakan tangan Ardika berhenti tepat di atas kepala pria itu. Kemudian, dia bertanya dengan suara

dalam, “Simon itu siapa?!”

“Si… Simon adalah ketua preman. Dia memiliki sekelompok anak buah yang ahli bela diri.”

“Dia memonopoli bisnis rumah duka di seluruh Kota Banyuli! Kami nggak berani nggak menuruti

ucapannya!”

Dewa Kematian.

Itulah panggilan yang diberikan oleh penduduk Kota Banyuli kepada Simon.

Di seluruh Kota Banyuli, semua urusan tentang orang mati tetap harus melewati tangan Simon!

Kalau ada anggota keluarga sebuah keluarga yang meninggal, anak buah Simon pasti mengetahuinya

dengan cepat, lalu berinisiatif untuk membantu mengatur proses pemakaman dan sebagainya.

Namun, semua pelayanan bagus mereka ini harus dibayar dengan harga mahal!