We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Menantu Pahlawan Negara

Bab 365
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 365 Aku yang Memberinya Wewenang

Elsy mengenakan setelan formal merek Burberry yang sangat cocok di tubuhnya, aura yang dipancarkannya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan auranya saat hanya berpenampilan seperti ibu rumah tangga

blasa.

Dia menyunggingkan seulas senyum dan berkata, “Tentu saja, seharusnya sebentar lagi Pak Raka tiba di perusahaan.”

“Wah ….”

Para petinggi perusahaan bersorak dengan gembira.

Mereka sangat berterima kasih dan menghormati sosok presdir yang telah mendirikan Grup Bintang Darma kembali dan merekrut mereka untuk bekerja kembali di perusahaan.

Cindi juga sangat bersemangat, dia segera duduk dengan tegak.

Sebenarnya, dia lebih berharap untuk dipilih oleh presdir dan menjadi asisten presdir daripada menjadi wakil kepala departemen personalia.

Ini adalah cara yang paling cepat dan mudah untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.

Setelah melirik lebih dari seratus petinggi yang berada di dalam ruangan, dia mendapati dirinya paling muda

dan paling cantik. Jadi, seharusnya peluangnya untuk terpilih paling besar!

Lebih dari seratus pasang mata menatap pintu masuk di belakang Elsy dengan tatapan penuh penantian dan

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

semangat.

Ruang presdir berlokasi di sebuah area yang luas dan terpisah.

Ada sebuah jalur khusus yang menghubungkan ruang presdir dengan ruang pertemuan.

Jadi, kalau presdir mereka hendak memasuki ruang pertemuan pasti akan melalui jalur itu.

“Krek!”

Di bawah sorot mata penuh penantian semua orang, tiba–tiba pintu itu terbuka.

Cindi dan yang lainnya langsung bersemangat, presdir yang mereka tunggu–tunggu telah tiba!

Namun, detik berikutnya, mereka semua tercengang. Saat tersadar kembali, mereka langsung marah besar.

Bukan presdir yang telah mereka nanti–nantikan yang berdiri di balik pintu, melainkan Airin yang tampak linglung dengan membawa bungkusan barang–barang pribadinya!

“Plak!”

Saking emosinya, Cindi langsung bangkit sambil memukul meja. “Airin, hebat sekali kamu! Kamu jelas–jelas sudah dipecat, tapi kamu malah berani menerobos masuk ke ruang pertemuan para petinggi! Apa kamu berniat untuk memohon pada Bu Elsy agar aku membatalkan keputusan pemecatan yang telah kuambil?! Apa kamu sama sekali nggak tahu aturan?!”

Begitu mendengar teriakan penuh amarah Cindi, Airin baru tersadar kembali.

Sebelumnya, dia masih dalam kondisi linglung.

Awalnya, dia mengira Ardika hanya bercanda padanya. Biarpun mereka bisa naik ke lantai dua puluh sembilan, saat rapat para petinggi perusahaan sedang berlangsung, pasti ada petugas keamanan yang berjaga di depan pintu dan menghalangi mereka masuk.

Dia sendiri juga tidak tahu sebenarnya tadi Ardika membawanya ke sini melalui tempat apa.

Mereka melewati sebuah tempat yang sangat mewah, tempat itu tampak seperti ruang kerja juga tampak seperti sebuah tempat tinggal mewah, bahkan dilengkapi dengan sebuah kolam renang.

Namun, anehnya, sepanjang jalan tidak ada seorang pun yang menghalangi mereka!

Setelah melewati tempat itu, dia pun sampai di sini.

Saat melihat para petinggi perusahaan di dalam ruangan itu, serta sorot mata bingung Elsy, Airin langsung panik.

“Maaf, Bu Elsy! Aku nggak bermaksud untuk memohon pada Bu Elsy! Aku tahu aturan!”

Sebelum Elsy sempat mengucapkan sepatah kata pun, Cindi berteriak dengan marah lagi, “Kamu tahu aturan apaan?!”

“Apa kamu tahu tempat yang kamu lewati itu adalah tempat apa?! Itu adalah ruang kerja presdir! Kamu pasti tahu kalau kamu melewati jalur biasa akan dihalangi oleh petugas keamanan, ‘kan?! Karena itulah, diam–diam kamu menyelinap masuk ke sini melalui ruang kerja presdir!”

‘Apa? Ruang kerja presdir?‘

Kepala Airin seolah berdengung. Saking ketakutannya, raut wajahnya sudah berubah menjadi pucat pasi.

“Airin, nyalimu benar–benar besar! Berani–beraninya kamu masuk ke ruang kerja presdir! Siapa yang memberimu wewenang untuk masuk ke sana?!” teriak Filbert yang sikapnya sama buruknya dengan Cindi dengan keras.

“Aku yang memberinya wewenang!”

Tepat pada saat ini, Ardika muncul di belakang Airin.

“Ardika, berani–beraninya kamu datang ke Grup Bintang Darma lagi!”

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

Begitu melihat Ardika, Cindi, Filbert dan yang lainnya terkejut sekaligus marah.

Mereka berasumsi bahwa Ardika menganggap ucapan mereka semalam sebagai angin lalu. Pria yang tidak

tahu malu itu sengaja datang menemui Elsy, agar Elsy mengatur sebuah pekerjaan untuknya.

Bahkan, kemungkinan besar pria itu mengandalkan hubungannya dengan Delvin untuk menduduki posisi wakil presdir.

Mereka tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi!

213

“Bu Elsy, nggak peduli apa pun yang dikatakan oleh idiot itu, Bu Elsy jangan memercayainya. Bu Elsy jangan lupa, dia yang sudah menyebabkan Pak Delvin kehilangan nyawanya!”

Filbert dan yang lainnya buru–buru “mengingatkan” Elsy.

“Bu Elsy, Ardika dan Airin sudah menerobos masuk ke ruang kerja presdir. Kita nggak tahu apakah mereka sudah menyentuh data–data rahasia perusahaan atau nggak. Kalau sampai menyebabkan

kerugian besar pada finansial perusahaan, kita semua pasti akan disalahkan.”

Cindi berkata dengan ekspresi kejam, “Aku sarankan sebaiknya segera meminta Pak Ruis dari departemen keamanan untuk menahan mereka, lalu lapor polisi untuk menangkap mereka!”

“Benar, Bu Elsy. Istri idiot itu adalah presdir Grup Perfe, mungkin saja dia sengaja datang untuk mencari tahu identitas Pak Raka seperti apa yang dilakukan oleh perwakilan perusahaan–perusahaan lain selama beberapa hari ini. Aku akan menahannya sekarang juga!”

Ruis yang bertubuh gemuk langsung berjalan ke arah Ardika dengan aura menakutkan.

“Plak!”

Tepat pada saat ini, Elsy tiba–tiba bangkit sambil memukul meja.

Dia memelototi bawahan–bawahannya, lalu berteriak dengan marah, “Kalian benar–benar lancang!”

Selesai berteriak dengan marah, dia tidak memedulikan ekspresi muram orang–orang itu lagi. Dia berbalik meninggalkan tempat duduknya, lalu menghampiri tempat duduk kosong di posisi paling tengah itu.

Kemudian, dia secara pribadi menarik kursi, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Ardika dan berkata dengan penuh hormat, “Silakan duduk Pak Presdir.”