We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Ruang Untukmu

Bab 865
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Ruang Untukmu

Bab 865

“Hai… Saya ingin mengembalikan buku.” Anita agak sedikit malu menatap langsung ke mata Raditya, bahkan

berbicara saja agak tersendat.

Raditya menepi dan memberi jalan pada Anita untuk masuk ke kamarnya. Dia berjalan ke rak dan menempatkan

buku itu ke tempat semula, dan mengambil buku yang lain. Dia kemudian melirik laki-laki yang sedang bekerja di

depan laptop untuk beberapa saat dan mengambil napas dalam-dalam, memutuskan untuk mendapatkan jawaban

atas pertanyaannya. “Hmm. Raditya, ada yang ingin saya tanyakan padamu. Mengapa kamu mau menggendong

saya sore tadi?” tanya Anita, matanya membesar.

“Bukankah kamu bilang pergelangan kakimu terkilir?” jawab laki-laki itu tanpa menoleh ke arahnya.

“Iya, benar, tetapi tidakkah kamu ingat pergelangan kaki saya yang mana yang terkilir saat itu?” tanya Anita

merasa bersalah.

Mendengar pertanyaan perempuan itu, bibir Raditya menukik ke atas, sorot matanya tampak sangat jahil. Melihat

senyum anehnya, Anita bisa mendengar suara dengung di kepalanya. Seperti yang saya duga, dia tahu saya hanya

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

berpura–pura. “Bila tahu saya hanya berpura-pura, mengapa kamu masih mau menggendong saya?” Anita

memutuskan lebih baik mengungkapkan segalanya, melupakan gengsinya.

“Karena menganggap ini terakhir kalinya kamu berlaku nakal seperti itu,” jawab Raditya dengan tenang,

menyiratkan bahwa dia tidak ingin dikecoh seperti ini lagi.

Anita cemberut dan berkata, “Kamu tampaknya enggan bicara pada saya sore ini. Saya sudah menunggumu

selama seminggu, tetapi saat menjemputmu, kamu tak mau bersusah-payah berkata satu patah kata pun pada

saya.”

Raditya, yang saat itu sedang mengetik, berhenti dan bertanya dengan suara rendah, “Mengapa kamu menunggu

saya?”

“Saya mengkhawatirkanmu. Bagaimanapun juga, saya ini buronan semua sindikat kriminal internasional, dan saya

khawatir dengan keselamatanmu.” Anita mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, mengungkapkan sejumlah

kejadian dalam beberapa hari belakangan ketika terganggu oleh berbagai pikiran buruk. Sebenarnya, dia

terbangun karena mimpi buruk di mana Raditya sedang berlari di tengah-tengah baku tembak sebelum terjadi

ledakan. Saat terbangun, tubuhnya sudah basah oleh keringat dingin.

Mendengar itu, Raditya menutup laptopnya dan berkata dengan tenang, “Saya baik-baik saja dan seterusnya akan

begitu, kamu seharusnya lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri saja.”

“Saya tahu belakangan ini sering memaksamu, jadi saya rasa tidak heran bila kamu membenci saya.” Entah

mengapa Anita benci dengan dirinya sendiri.

Begitu mendengar ucapannya, Raditya mengalihkan pandangannya pada Anita dan bertanya-tanya kapan dia

pernah berkata seperti itu padanya. “Kamu harus kembali ke kamarmu sekarang,” ujar Raditya, karena merasa

tidak pantas mereka berdua berada dalam satu kamar saat sudah larut malam. Dengan begitu, Anita tak punya

pilihan lain kecuali meninggalkan laki-laki itu karena enggan menerima kenyataan tidak menyenangkan yang

masuk akal bahwa laki-laki itu memang membencinya.

Keesokan paginya, setelah merapikan kamar, Anita keluar untuk berjalan kaki dan tidak sengaja bertemu laki-laki

yang memiliki aura enak diajak berteman dan selalu ceria Sandro. “Selamat pagi, Nona Maldino!”

“Selamat pagi!”

“Apakah Nona sudah sarapan?” tanya Sandro.

“Belum, saya belum sarapan.”

“Apakah mau ikut sarapan bersama saya?”

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

Anita merenung sebentar, menimbang bahwa tentu bukan sesuatu yang buruk bila ada teman karena merasa

bosan sarapan seorang diri terus menerus. “Tentu saja.” Dia tersenyum dan kemudian pergi ke kantin dengan

Sandro.

Sebagai laki-laki bertinggi badan lebih dari 180 cm, Sandro terlihat sangat serasi berdampingan dengan Anita,

berkat wajah tampannya. Oleh karena itu, banyak mata tertuju pada mereka saat keduanya berjalan melewati.

Mereka seperti sepasang kekasih yang begitu serasi, bukan?

Setelah duduk berhadapan dengan Sandro, Anita tampak tidak nafsu makan padahal makanan sudah dihidangkan

karena suasana hatinya sedang buruk. Melihat bagaimana dia memilah-milah makanannya, Sandro dengan

mengejutkan berkata, “Nona Maldino harus makan. Nona harus meningkatkan kekuatan!”

“Jangan panggil saya nona. Panggil saja Anita. Lagipula saya bukan putri dari keluarga kaya raya,” kata

Anita.

“Baiklah. Lagipula saya satu tahun lebih tua darimu, jadi saya panggil Anita saja! Ayolah! Makan telur ini. Telur

adalah pilihan yang paling tepat untuk sarapan yang sehat.” Sandro mulai mengupas cangkang telur sebelum

memberikan beberapa butir telur pada Anita.

Meskipun Anita menggeleng, Sandro tetap mengupas cangkang telur dan menyerahkan padanya. “Ayolah. Saya

sudah mengupas telur ini untukmu, maka kamu harus memakannya sekarang.”

Merasa tidak sopan kalau mengecewakan Sandro, Anita kemudian mengambil telur itu dan mengatakan, “Terima

kasih, Sandro.”