We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Ruang Untukmu

Bab 875
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Ruang Untukmu

Bab 875

“Datanglah ke kamar saya,” kata Raditya dengan suara rendah, kemudian berlalu menuju kamarnya lebih dulu.

Anita membuka pintu dan segera keluar dari kamar dan mengikutinya. Menilai dari raut wajahnya tadi, ada sesuatu

yang ingin disampaikan olehnya.

Saat Anita memasuki kamarnya, Raditya menutup pintu dan menatapnya dengan muram. Dia tidak langsung

bicara, dan Anita merasa harus mencairkan suasana tegang di antara mereka. “Silakan,” ujarnya, heran akan apa

yang masih ditunggu oleh Raditya.

“Saya mendapat telepon sepuluh menit yang lalu. Kabar tentang keluargamu,” ucap Raditya.

Tiba–tiba, hatinya mengerut, tangannya mencengkeram lengan Raditya sebelum mendesak, “Ada apa dengan

keluarga saya? Apakah mereka baik–baik saja?”

“Ibumu mengalami kecelakaan sejam lalu, sekarang berada di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit,” jelasnya

singkat.

“Apa?” pikiran Anita mendadak kosong. Jiwanya terguncang, bibirnya bergetar bersamaan dengan wajahnya yang

memucat. Dia bahkan tidak tahu akan menangis sampai Raditya menarik dan memeluknya.

Tiba–tiba, air mata mengalir di pipinya dan dia dengan cepat mendorong Raditya menjauh, lalu membuka pintu dan

keluar dari kamar itu.

Raditya mengikutinya, mendapati dia kembali ke kamarnya dan membiarkan pintunya terbuka sedikit. Anita

mengobrak–abrik kamarnya untuk mencari tasnya, kemudian buru–buru memasukkan ponselnya ke dalam, dan

bersiap untuk pergi.

Raditya berdiri di pintu, mengernyit dan bertanya, “Kamu mau pergi?”

Anita melingkarkan tasnya ke pundaknya. Terasa ketegasan di wajahnya saat menatap Raditya dengan mata

memerah, “Saya harus pulang. Saya mau bertemu ibu saya. Saya bahkan tidak tahu apakah ibu akan selamat atau

tidak.” Dia menolak untuk tinggal di tempat aman dan nyaman di sini padahal keluarganya dalam bahaya. Dia lebih

baik menawarkan dirinya kepada kelompok penjahat itu daripada melihat keluarganya mati karenanya.

“Kamu tidak diizinkan meninggalkan markas,” ucap Raditnya dengan penuh kuasa sambil merentangkan

tangannya untuk menghalangi celah di pintu, tubuhnya yang tinggi menjulang seperti dinding yang menahan Anita

tetap berada di dalam.

“Minggir, Raditya,” perintah Anita.

“Anita, tenanglah dan kita tunggu kabar dari ibumu dulu, oke?” dia menyarankan dengan nada menenangkan

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

berharap Anita bisa melihat alasan di balik sikapnya.

Namun, alasan tidak mempan untuknya kali ini. Yang dia inginkan hanyalah pulang dan bertemu ibunya. “Saya

bilang,” dia menggigit bibirnya. “Minggirlah.” Kali ini, tampak tersirat kebencian di matanya, dan rahangnya

mengencang.

“Sekarang ibumu sudah dirawat di rumah sakit, dan saya yakin keluargamu tidak ingin kamu berakhir seperti

ibumu,” Raditya mencoba mengemukakan pendapatnya, terdengar lebih memaksa daripada sebelumnya. Dia tahu

nasib apa yang akan menunggunya apabila dia membiarkan Anita keluar dari markas dan penjahat itu

menangkapnya. Ini bukan sesuatu yang siap dipertaruhkan olehnya.

Anita memejamkan mata dan membiarkan air matanya jatuh. Saat ini dia adalah perempuan kalap, yang hanya

ingin melihat ibunya yang sedang terluka parah. Sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang anak, dan tidak bisa

melihat siapapun di keluarganya tersakiti karena dirinya, walaupun tahu dia akan mati ketika kembali.

Bila dia tidak keluar dari persembunyiannya, para penjahat akan mulai menargetkan ayahnya, kakeknya, dan

saudaranya yang lain. Mereka tidak akan berhenti hanya dengan mencelakai ibunya.

“Raditya, saya akan membencimu selama–lamanya apabila kamu tidak membiarkan saya pergi sekarang juga!”

ancam Anita sambil berusaha mendorong dan membuka jalan untuknya, tetapi dia seperti gunung yang bergeming

meskipun sudah didorong sekuat tenaga. “Minggir!” Dia memelototinya, kebencian di matanya sangat jelas terlihat.

Dia benar–benar membencinya. Dia membenci ketidaksimpatiannya. Dia juga membenci pekerjaannya.

“Kamu tahu saya tidak akan membiarkanmu pergi. Saya sudah berjanji pada orang tuamu untuk melindungimu. Ini

tugas saya,” jawab Raditya dengan suara parau.

“Saya tidak perlu perlindungan darimu! Ini hidup saya, dan saya berhak memutuskan apapun yang ingin saya

lakukan! Biarkan saya pergi! Saya berjanji tidak akan menyalahkanmu apabila saya mati di luar sana,” Anita

memohon mati–matian. Terlihat kesedihan di matanya, tetapi dia tidak menyerah.

“Saya tidak akan membiarkanmu mati,” ucap Raditya dengan tegas, pundaknya tegak saat dia berdiri terpaku di

tempat.

Penolakan darinya terasa lebih buruk daripada kematian. Diapun luruh, menangis meraung- raung dan terkulai di

lantai. Dia meletakkan kepalanya di atas tangan dan menangis tersedu–sedu, mengeluarkan rasa sakit, kesedihan

dan juga ketidak–berdayaan dirinya.

Raditya menatapnya, hatinya pilu melihatnya gemetar dengan kekuatan untuk mengeluarkan sedu–sedan

berikutnya. Dia tidak tahu seberapa parah luka yang dialami ibunya. Yang dia tahu dari sejumlah foto yang

dikirimkan kepada Raditya adalah bahwa sopir lain dalam tabrakan itu meninggal di tempat dan bahwa ibu Anita

tidak sadarkan diri saat dibawa ke rumah sakit.

Ruang Untukmu

Bab 876

Apakah ibu Anita bisa terselamatkan atau tidak memang menjadi tanda tanya.

Anita berpegangan pada kusen pintu untuk menopangnya berdiri. Dia masih terisak saat menatap laki–laki di

hadapannya dengan memelas, dan berkata “Bisakah setidaknya saya menelepon ayah agar tahu kondisi ibu saya?

Bisa ya?”

Raditya pun mengangguk, merasa lega karena Anita memutuskan memilih untuk menelepon daripada pulang.

Dia baru saja hendak berjalan ke luar ketika kakinya terasa lunglai dan membuatnya terhuyung. Menangkap gejala

itu, Raditya langsung menjulurkan tangan untuk menahannya, lengannya melingkar di tubuhnya untuk

menopangnya berdiri. Dia melihat wajahnya pucat dan tubuhnya sangat lemah, lalu bertanya perlahan, “Apakah

kamu cukup kuat untuk berjalan?”

Anita menegakkan tubuhnya saat mendengar pertanyaannya. Dengan punggung tegak, dia melangkah menuju

ruang rapat di mana Raditya dan anak buahnya bekerja. Tindakan ini adalah protes sunyinya atas

ketidaksimpatikan sikap Raditya tadi.

Setibanya di ruang itu, keempat laki–laki yang sedang bekerja di depan komputer memandanginya dengan penuh

cemas. Mereka bisa menyimpulkan bahwa Anita menangis dengan melihat matanya yang bengkak dan merah,

sehingga semakin merasa khawatir.

“Jangan khawatir, Nona Maldino, ibumu akan baik–baik saja,” ucap Teddy menenangkannya dengan lembut.

“Apakah kalian punya video kecelakaan mobilnya?” tanya Anita dengan suara parau. “Saya ingin melihatnya.”

Jodi langsung menutup laptopnya dan melirik Raditya, yang berdiri di pintu dengan lengan menyilang di dada. Saat

menangkap tatapan tajam mata Raditya, dia berbicara dengan sedikit tergagap, “Ti–Tidak ada, kami hanya

menerima panggilan telepon tentang peristiwa itu. Tidak ada kiriman video.”

Akan tetapi, Anita tahu bahwa dia berbohong. Sorot matanya tertuju pada laptopnya, dia pun mengitari meja

panjang menuju tempat duduknya. Kemudian, dia menggeser tubuh Jodi dan segera membuka laptopnya, lalu

membuka semua berkas di dalamnya. “Tampilkan video itu sekarang juga,” dia memerintah dengan dingin, dengan

air mata menggenang di kedua matanya.

Merasa terpojok, Jodi menatap Raditya, meminta bantuan dalam diam. Setelah melihat kondisi Anita yang

tidak berdaya sebelumnya, Raditya pun menghampirinya dan menutup laptop itu, kemudian berkata, “Kita harus

menunggu kabar dari rumah sakit.”

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

Air mata mengalir semakin deras di pipinya saat merenungkan arti kata–kata yang keluar dari mulut Raditya.

Apabila dia bersikeras tidak mengizinkannya melihat video itu, maka artinya adalah kecelakaan itu sangat parah

dan kemungkinan ibunya selamat sangat kecil.

Dengan berpikir bahwa ada kemungkinan dia tak sempat melihat ibunya lagi untuk terakhir kalinya, Anita merasa

sesak sampai tidak bisa mencerna apapun yang terjadi di sekitarnya. Napasnya pun tersengal saat kepanikan

menyerangnya, dan tiba–tiba semuanya menjadi gelap, kemudian dia jatuh terjengkang.

Teddy, yang berada di sampingnya, menangkapnya sebelum jatuh. “Pak Raditya, dia pingsan!” pekiknya.

Raditya sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Alisnya mengernyit saat berlari di dalam ruang dan

menggendongnya, kemudian pergi ke klinik dengan Jodi dan Teddy mengikuti di belakang.

Anita tampak pucat saat berbaring di ranjang klinik dan tubuhnya dingin. Dokter sudah memeriksa dan berkata,

“Nona Maldino pingsan karena tubuhnya tidak dapat mengatasi keterkejutan yang dialami, tetapi akan pulih

kembali setelah beristirahat.”

“Namun dia masih harus menghadapi kenyataan saat siuman nanti!” ucap Teddy sambil menghela napas.

“Kita hanya bisa berharap ibunya selamat, kalau tidak, dia akan sangat sedih,” ucap Jodi.

Sementara itu, Raditya duduk di ujung ranjang dengan alis mengernyit. Sorot matanya terpaku pada Anita,

matanya menunjukkan kekhawatiran yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.

“Kalian berdua boleh pergi,” perintahnya ke anak buahnya. “Beritahu saya begitu kalian mendapat kabar tentang

ibunya.”

“Siap. Kami serahkan Nona Maldino kepadamu, Radit,” jawab Teddy, lalu menarik Jodi keluar dari klinik dan kembali

ke ruang rapat.

Saat menyusuri koridor, Teddy kembali menghela napas, “Saya berani bertaruh Radit pasti menyalahkan dirinya

sendiri atas hal ini. Dia berjanji pada Nona Maldino untuk menjaga keselamatan keluarganya, tetapi sekarang,

ibunya justru terbaring di rumah sakit karena kecelakaan mobil.”

“Seperti yang saya duga. Saya melihat bagaimana Nona Maldino menatap Radit tadi, dan yakin dia sangat

membencinya. Apabila terjadi sesuatu pada ibunya, dia pasti akan menyalahkannya seumur hidup.”

Mereka berdua saling beradu pandang, berharap apapun dugaan mereka tidak akan menjadi kenyataan. Hal

terakhir yang mereka inginkan adalah Anita membenci Raditya karena kimi mereka merasa Raditya memiliki

perasaan istimewa terhadapnya.

Di klinik, dokter memasang selang infus pada Anita, dan kateter dipasang di lengannya dengan jarum. Raditya

duduk di sebelah ranjang, posturnya tegak dan kaku saat mata gelapnya terkunci pada gadis yang tidak sadarkan

diri itu. Sulit mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, tetapi siapapun bisa melihat kalau dia sangat khawatir.